Taman Makan Pahlawan Nasional Sepuluh November Surabaya merupakan tempat di mana makam-makam para pejuang di Surabaya tertata rapi dan bersih. Berbeda dengan pemakaman pada umumnya yang terkesan mistis dan horor, Taman Makam Pahlawan Surabaya ini sangat tertata rapi, terawat dengan baik dan pemandangannya pun bisa di bilang cukup cantik. Dikenal sebagai Kota Pahlawan, Surabaya tentu senantiasa berbenah guna memelihara dan mempertahankan gelar yang membanggakan tersebut.

Masyarakat Indonesia kebanyakan mengetahui julukan yang disandang Surabaya sebagai Kota Pahlawan, karena peristiwa heroik rakyat dan pemudanya dalam mengusir penjajah. Puncak perlawanannya terjadi tanggal 10 November tahun 1945 dan akhirnya ditetapkan sebagai Hari Pahlawan. Lebih dari itu, Surabaya memegang teguh prinsip bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati sejarahnya. Terdapatnya Taman Makam Pahlawan Sepuluh November telah membuktikannya.
Belum jelas siapa saja pejuang atau pahlawan yang telah berjasa bagi Indonesia, khususnya Kota Surabaya yang dimakamkan di sini. Umumnya, nama yang tertera di batu nisan tiap makam itu ditulis Pahlawan Tak Dikenal. Sebagian batu nisan lainnya, sudah diberi nama para pejuang yang gugur di medan perang. Ada banyak makam pahlawan di sini, dengan melihatnya saja membuat kita dapat membayangkan betapa dahsyatnya peperangan mereka melawan penjajah. Selain Taman Makan Pahlawan Sepuluh November, Kota Surabaya juga memiliki Taman Makam Pahlawan lainnya yakni Taman Makam Pahlawan Kusuma Bangsa.

Tidak hanya itu saja, di Kampung Rangkah, Kenjeran-Surabaya juga terdapat sebuh makam yakni makam WR Soepratman. Di kawasan Bubutan terdapat makam Dr Soetomo (makamnya di sebelah Gedung Nasional Indonesia). Di Pemakaman Ngagel pun terdapat jasad pahlawan Surabaya yang paling terkenal kisah perjuangannya semasa masih hidup, yakni makam Bung Tomo. Hal

tersebutlah yang menjadikan Surabaya memang layak untuk dijuluki sebagai Kota Pahlawan. Selain dari kisah-kisah heroiknya, pemakaman para pahlawannya pun masih terawat dengan baik sampai saat ini. Bagaimana tertarik untuk berkunjung, silahkan saja Anda datang ke Taman Makam Pahlawan Nasional Sepuluh November yang berlokasi di Jalan Mayjen Sungkono, Surabaya.


Sumber : http://indoturs.com/place/taman-makam-pahlawan-sepuluh-november/
House Of Sampoerna terletak di pusat kota Surabaya. Tepatnya berada di Jalan Taman Sampoerna No.6, Krembangan, Pabean Cantikan, Surabaya. Bangunan ini dibangun pada tahun 1862 dan awalnya menjadi sebuah panti asuhan yang dikelola oleh Belanda. Salah satu anak yatim, Liem Seeng Tee, membeli bangunan bergaya kolonial Belanda pada tahun 1932 untuk digunakan sebagai perusahaan besar yang memproduksi rokok.

Pada tahun 2003, pada ulang tahun ke-90 perusahaan, kompleks itu dikembalikan dan sebagian berubah menjadi museum. Tetapi sampai hari ini masih sebagian bangunannya masih digunakan sebagai rumah produksi untuk pembuatan rokok paling bergengsi di Indonesia, seperti Dji Sam Soe.

Salah satu yang menarik di sini adalah untuk melihat secara langsung pembuatan rokok dengan menggunakan peralatan tradisional dan dilakukan oleh ribuan pekerja wanita yang mampu menghasilkan 325 batang rokok per jam.

House of Sampoerna
Karena kombinasi unik antara bangunan bersejarah atau museum dan perusahaan produksi tradisional, House of Sampoerna dianggap sebagai salah satu tujuan utama wisata di Surabaya.

Bangunan ini terdiri dari empat bagian, yaitu auditorium utama, bagian produksi di belakang auditorium dan dua bangunan lebih kecil berfungsi sebagai tempat tinggal keluarga di sebelah barat. Samping bangunan, sedangkan bangunan di sebelah timur telah diubah menjadi tempat untuk umum seperti sebuah kafe, kios dan galeri seni. Auditorium pusat yang asli sekarang menjadi sebuah museum. Namun pabrik untuk produksi rokok Dji Sam Soe masih dilaksanakan di belakang kompleks.

Bila Anda ingin melihat produksi rokok Dji Sam Soe, sebaiknya datang pada hari biasa (Senin sampai Sabtu) sebelum jam 15:00.

Fasilitas
House of Sampoerna memiliki agenda keliling Surabaya secara gratis yang dikenal dengan nama Surabaya Heritage Track. Jadi wisatawan bisa menggunakan fasilitas bus ini untuk berkeliling Surabaya. Jadwal busnya dimulai pukul 09.00-10.00 WIB, 13.00-14.00 WIB dan pukul 15.00-16.00 WIB.

Fasilitas di House of Sampoerna lainnya adalah ruang pamer galeri seni, kafe serta kamar mandi umum.


Sumber : http://www.utiket.com/id/obyek-wisata/surabaya/38-house_of_sampoerna.html

Monumen Jenderal Sudirman terletak di tengah-tengah sebuah taman memanjang yang membelah Jl. Yos Sudarso, Surabaya, sekitar 50 m setelah melewati jembatan yang melintas Kali Mas, menuju ke Gedung Balai Kota dari arah Balai Pemuda. Kendaran yang melintas Jl. Yos Sudarso cukup ramai, sehingga perlu sedikit kesabaran untuk menyeberangi jalan mendekati area di sekitar Monumen Jenderal Sudirman ini.

monumen jenderal sudirmanMonumen Jenderal Sudirman, atau Monumen Panglima Besar Djendral Soedirman, diresmikan pada 10 November 1970 oleh Presiden Soeharto dalam rangkaian peringkatan Hari Pahlawan.

Patung Jenderal Sudirman dibuat pada posisi tegak, tangan disamping, ujung celana masuk ke dalam sepatu boot, dan sebilah pedang tampak menggantung di pinggang sebelah kiri. Pakaian yang dikenakan Jenderal Sudirman tampak menyerupai seragam PETA, kesatuan dimana Sudirman memperoleh pendidikan militernya.

monumen jenderal sudirmanMonumen Jenderal Sudirman di dua sisi yang berlawanan berisi kata-kata Panglima Besar Jenderal Sudirman ketika revolusi fisik masih tengah berlangsung.

Sudirman lahir dari ayah Karsid Kartowirodji, seorang pegawai Pabrik Gula Kalibagor, dan ibu bernama Siyem yang merupakan keturunan Wedana Rembang. Ia ikut pendidikan formal di Sekolah Taman Siswa, dan kemudian di HIK (sekolah guru) Muhammadiyah Surakarta yang meskpun tidak sampai tamat ia menjadi guru di sekolah HIS Muhammadiyah di Cilacap.

monumen jenderal sudirmanMonumen Jenderal Sudirman merupakan penghormatan bagi panglima pertama tentara Indonesia yang dipilih pada Konperensi Tentara Keamanan Rakyat di Jogja pada 12 November 1945. Saat itu, Sudirman yang lahir di Bodas Karangjati Purbalingga pada 24 Januari 1916 baru akan menginjak usianya yang ke-30 tahun.

Sebuah catatan dan diskusi menarik tentang terpilihnya Sudirman pada konperensi yang dihadiri para komandan resimen dan divisi TKR se-Jawa dan Sumatera itu bisa dibaca pada blog Anusapati.

monumen jenderal sudirmanMonumen Jenderal Sudirman dengan kutipan kata-katanya yang diberikannya sebagai arahan kepada prajurit TKR dalam menghadapi peperangan melawan Belanda yang hendak menjajah Indonesia kembali.

monumen jenderal sudirmanMonumen Jenderal Sudirman dilihat dari arah belakang dengan lekak-lekuk pakaian yang tampak natural.

Masuknya Jepang merubah jalan hidup Sudirman, dimulai ketika ia masuk menjadi bagian tentara Pembela Tanah Air (PETA) dan mendapat pendidikan kemiliteran oleh tentara Jepang di Bogor (sekarang Museum PETA), kemudian menjadi Komandan Batalyon di Kroya, Jawa Tengah, dan Panglima Divisi V/Banyumas sesudah terbentuknya TKR dengan pangkat kolonel.

monumen jenderal sudirmanMonumen Jenderal Sudirman dengan sebuah sisi yang menunjukkan bahwa monumen ini dipersembahkan oleh Letnan Jenderal M Yasin yang pernah menjabat sebagai Pangdam VII/Brawijaya, Jawa Timur.

Sudirman adalah perwira PETA yang berhasil mendinginkan pemberontakan PETA Gumilir sehingga tidak sampai mengalami nasib seperti 6 perwira PETA Blitar, termasuk Supriyadi, yang dipenggal kepalanya oleh tentara Jepang pada pemberontakan PETA Blitar. Supriyadi yang diangkat oleh Presiden sebagai panglima tertinggi TKR tidak sempat menduduki pos-nya karena keburu tewas.

monumen jenderal sudirmanMonumen Jenderal Sudirman dengan lampu sorot di sebelah kiri dan taman bunga yang terlihat cukup terpelihara di sekitarnya.

Pada 12 Desember 1945, lima minggu setelah berakhirnya pertempuran Surabaya, Sudirman memimpin pasukan TKR dalam sebuah serangan serentak terhadap kedudukan Inggris di Ambarawa. Pertempuran yang kemudian terkenal dengan sebutan Palagan Ambarawa itu berlangsung selama lima hari dan berhasil memaksa pasukan Inggris untuk mundur ke Semarang.

Kemenangan di Palagan Ambarawa ini membuat Presiden Soekarno tidak memiliki alasan lagi untuk menunda pelantikan Sudirman sebagai Panglima Besar TKR/Panglima Angkatan Perang RI, yang dilakukan pada 18 Desember 1945, sekaligus memberinya pangkat Jenderal.

monumen jenderal sudirmanMonumen Jenderal Sudirman dengan latar belakang menara GPIB Maranatha yang terletak tidak jauh dari lokasi monumen.

Pada Agresi Militer II Belanda, 19 Desember 1948, ketika semua pemimpin politik memilih untuk tetap berada di dalam Kota Jogjakarta dan kemudian ditangkap Belanda dan dibawa ke luar Pulau, Sudirman yang sudah lemah karena penyakit TBC memilih untuk memimpin perang gerilya melawan pasukan Belanda dengan rute perjalanan mencapai 1000 km di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur.

monumen jenderal sudirmanMonumen Jenderal Sudirman dengan sebagian bangunan Gedung Balai Kota di latar belakang.

Baru setelah pengakuan kedaulatan oleh Belanda pada 1949, Jenderal Soedirman bisa kembali ke Jakarta bersama Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta.

monumen jenderal sudirmanMonumen Jenderal Sudirman pada sebuah malam.

Panglima Besar Jenderal Sudirman meninggal dunia di Magelang pada 29 Januari 1950 di usianya yang baru saja genap 34 tahun. Jasadnya kemudian dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kusuma Negara di Semaki, Yogyakarta. Pada 1997, pemerintah Orde Baru memberinya gelar Jenderal Besar Anumerta bintang lima, sebagaimana yang diberikan pemerintah kepada Soeharto dan AH Nasution.


Sumber : http://www.thearoengbinangproject.com/monumen-jenderal-sudirman-surabaya/

Bangunan Museum Nahdatul Ulama (NU) berbentuk bundar  seluas 1000m2, menempati lahan seluas 300 m2. Museum berlantai 3 ini terletak di kawasan gayungsari timur, 300 meter arah timur Masjid Al Akbar, surabaya.

Koleksi museum NU meliputi benda-benda bersejarah yang perna di pakai para kyai dan para pejuang Nadhiyin pada masa perjuangan pergerakan nasionla dan dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Anda dapat melihat copy dokumen resolusi jihad NU yang berperan sangat penting dalam pertempuran 10 Nopember 1945, selain itu juga disimpan pula dokumen-dokumen sejarah pendirian jam’iyah NU, bahkan akta pendirian NU pada tanggal 31 januari 1926 juga ada di sini. Museum ini juga menyimpan dokumen-dokumen surat-surat koperasi NU, Syirkatul Amaliah th 1918 dan surat balasan Raja Hijaz terhadap komite Hijaz yang sama-sama menjadi embrio berdirinya NU.

Museum Nahdlatul Ulama

Disamping itu juga di simpan kitab-kitab kuno yang di tulis para kyai salaf dalam abad pertengahn, foto-foto sekolah Nahdatul Wathon di jalan Kawatan-surabaya, gedung Tashwirul Afkar yang berdiri th 1916, foto kyai danbu nyai, serta alat kesenian yang dibuat dan digunakan warga NU dalam acara-acara religius.

Sumber : https://pesonawisatasurabaya.wordpress.com/2014/11/13/museum-nahdlatul-ulama-nu/

Wage Rudolf Soepratman adalah pencipta lagu kebangsaan Indonesia, Indonesia Raya. Dia dilahirkan pada Senin 9 Maret, 1903 di Jatinegara Jakarta, ia seorang Muslim dan tidak mengikuti organisasi politik apapun. Ayahnya bernama Senen, seorang sersan di Batalyon VIII. Diasuh oleh kakak iparnya WM Van Eldik (Sastromihardjo) ia telah belajar bermain gitar dan biola.


Pada bulan Oktober 1928 di Jakarta,diadakan sebuah Kongres Pemuda yang melahirkan 'Sumpah Pemuda'. Pada malam penutupan kongres, pada tanggal 28 Octobers 1928, Supratman memperdengarkan lagu ciptaannya secara instrumental di depan para peserta. Waktu itu merupakan pertama kalinya lagu Indonesia Raya ini bergema di depan publik. Semua partisipan terkejut mendengarnya. Setelah itu, Lagu Indonesia Raya selalu tidak pernah ketinggalan untuk dibawakan di setiap kongres yang berlangsung. Lagu ini merupakan perwujudan dari keinginan bersama untuk sebuah kemerdekaan.


Untuk mengenang jasa WR Soepratman, kita dapat mengunjungi museum WR Soepratman di Jalan Tambaksari Surabaya. Di Museum ini bisa dilihat tulisan asli WR Soepratman ketika ia membuat lagu Indonesia Raya pada saat pertama, dan juga biola historis yang menemaninya saat membuat beberapa lagu kebangsaan.
Lokasi museum WR Soepratmat ini juga berdekatan dengan makam beliau yang meninggal pada 17 Agustus 1938. Sejak menciptakan lagu kebangsaan Indonesia Raya, Beliau banyak di buru oleh pihak Belanda, dan hal ini membuat beliau sakit-sakitan.

Lagu terakhir yang beliau ciptakan berjudul Matahari Terbit, dan karena lagu itu pulalah, Beliau di penjara di Kalisosok dan pada akhirnya meninggal.Pada 26 Juni 1959, Pemerintah Regulasi 44 mengumumkan bahwa Indonesia Raya adalah lagu kebangsaan Indonesia.

Sumber : http://www.eastjava.com/tourism/surabaya/ina/wr-soepratman-museum.html

Masjid Cheng Hoo Surabaya adalah Masjid bernuansa Muslim Tionghoa yang berlokasi di Jalan Gading, Ketabang, Genteng, Surabaya atau 1.000 m utara Gedung Balaikota Surabaya. Masjid ini didirikan atas prakarsa para sespuh, penasehat, pengurus PITI, dan pengurus Yayasan Haji Muhammad Cheng Ho Indonesia Jawa Timur serta tokoh masyarakat Tionghoa di Surabaya. Pembangunan masjid ini diawali dengan peletakkan batu pertama 15 Oktober 2001 bertepatan dengan Isra' Mi'raj Nabi Muhammad SAW. Sedangkan pembangunannya baru dilaksanakan 10 Maret 2002 dan baru diresmikan pada 13 Oktober 2002.

Hasil gambar untuk masjid cheng ho surabayaMasjid Cheng Ho, atau juga dikenal dengan nama Masjid Muhammad Cheng Ho Surabaya, ialah bangunan masjid yang menyerupai kelenteng (rumah ibadah umat Tri Dharma). Gedung ini terletak di areal komplek gedung serba guna PITI (Pembina Imam Tauhid Islam) Jawa Timur Jalan Gading No.2 (Belakang Taman Makam Pahlawan Kusuma Bangsa), Surabaya. Masjid ini didominasi warna merah, hijau, dan kuning. Ornamennya kental nuansa Tiongkok lama. Pintu masuknya menyerupai bentuk pagoda, terdapat juga relief naga dan patung singa dari lilin dengan lafaz Allah dalam huruf Arab di puncak pagoda. Di sisi kiri bangunan terdapat sebuah beduk sebagai pelengkap bangunan masjid.Selain Surabaya di Palembang juga telah ada masjid serupa dengan nama Masjid Cheng Ho Palembang atau Masjid Al Islam Muhammad Cheng Hoo Sriwijaya Palembang.

Nama masjid ini merupakan bentuk penghormatan pada Cheng Ho, Laksamana asal Cina yang beragama Islam. Dalam perjalanannya di kawasan Asia Tenggara, Cheng Ho bukan hanya berdagang dan menjalin persahabatan, juga menyebarkan agama Islam.

Pada abad ke 15 pada masa Dinasti Ming (1368-1643) orang-orang Tionghoa dari Yunnan mulai berdatangan untuk menyebarkan agama Islam, terutama di pulau Jawa. Yang kemudian Laksamana Cheng Ho (Admiral Zhang Hee) atau yang lebih dikenal dengan Sam Poo Kong atau Pompu Awang pada tahun 1410 dan tahun 1416 dengan armada yang dipimpinnya mendarat di pantai Simongan, Semarang. Selain itu dia juga sebagai utusan Kaisar Yung Lo untuk mengunjungi Raja Majapahit yang juga bertujuan untuk menyebarkan agama Islam.

Untuk mengenang perjuangan dan dakwah Laksamana Cheng Hoo dan warga Tionghoa muslim juga ingin memiliki sebuah masjid dengan gaya Tionghoa maka pada tanggal 13 Oktober 2002 diresmikan Masjid dengan arsitektur Tiongkok ini.

Masjid Muhammad Cheng Hoo ini mampu menampung sekitar 200 jama'ah. Masjid Muhammad Cheng Hoo berdiri di atas tanah seluas 21 x 11 meter persegi dengan luas bangunan utama 11 x 9 meter persegi. Masjid Muhammad Cheng Hoo juga memiliki delapan sisi dibagian atas bangunan utama. Ketiga ukuran atau angka itu ada maksudnya. Maknanya adalah angka 11 untuk ukuran Ka'bah saat baru dibangun, angka 9 melambangkan Wali Songo dan angka 8 melambangkan Pat Kwa (keberuntungan/ kejayaan dalam bahasa Tionghoa).

Perpaduan Gaya Tiongkok dan Arab memang menjadi ciri khas masjid ini. Arsitektur Masjid Cheng Ho diilhami Masjid Niu Jie (Ox Street) di Beijing yang dibangun pada tahun 996 Masehi. Gaya Niu Jie tampak pada bagian puncak, atau atap utama, dan mahkota masjid. Selebihnya, hasil perpaduan arsitektur Timur Tengah dan budaya lokal, Jawa. Arsiteknya Ir. Abdul Aziz dari Bojonegoro.


Sumber : https://id.wikipedia.org/wiki/Masjid_Cheng_Ho_Surabaya

Hotel Majapahit adalah sebuah hotel mewah bersejarah di Jalan Tunjungan, Surabaya, Jawa Timur, Indonesia. Dahulunya bernama LMS, lalu Hotel Oranje dan kemudian Hotel Yamato dan juga Hotel Hoteru. Saat ini, Hotel Majapahit yang dibangun pada tahun 1910 oleh Sarkies Bersaudara dari Armenia tersebut sudah berubah menjadi hotel mewah bintang lima dengan total 143 kamar di lantai satu dan dua. Hotel ini sempat dikelola oleh Mandarin Oriental Hotel Group sejak 1993 hingga 2006. Pada tahun 2006, hotel ini diakuisisi oleh PT Sekman Wisata. Sebagian besar bangunan asli hotel ini masih dapat dilihat hingga saat ini, meskipun beberapa bangunan luar dan beberapa unsur interiornya telah direnovasi.

Salah satu momen perjuangan di hotel ini terjadi pada 19 September 1945, yakni Insiden Bendera. Peristiwa bermula ketika sekelompok orang Belanda yang dipimpin Mr. Pluegman mengibarkan bendera Merah Putih Biru di puncak sebelah kanan hotel. Para pejuang Indonesia melakukan perobekan warna biru pada bendera Belanda, yang berwarna merah, putih dan biru, dengan demikian bendera itu menjadi merah putih yaitu bendera Republik Indonesia. Insiden bendera itu juga mengakibatkan terbunuhnya Mr. Pluegman.

Berkas:Hotel majapahit recent.jpg


Sumber : https://id.wikipedia.org/wiki/Hotel_Majapahit